Tiga "Surga Air" yang Menyatu di Giri Tirta Banjarnegara


Curug Mrawu Banjarnegara. My World Paradise.

Gemerujug air perlahan terdengar menggempita. Suaranya kini memberantas hening yang daritadi menyelimut langkah saya menyusur sebuah setapak selokan di igir-igir perbukitan. Tandanya, telah dekat menjangkau Curug Genting. Satu di antara dua curug sunyi yang menyelinap di Giri Tirta, Pejawaran Banjarnegara, lereng selatan Dataran Tinggi Dieng. Penasaran saya pun makin membuncah. Tak sabar untuk lekas bersimpuh di hadapannya.
Setengah kilometer berjalan, tibalah saya pada sebuah jembatan bambu yang melintang di atas sungai kecil berbatu. Aha.. Di sebelah kiri saya Curug Genting sudah sayup-sayup tampak. Sayup-sayup melambaikan pesonanya. Tapi tunggu. Sabar sebentar. Saya harus bergantian melintas jembatan dengan seorang warga yang sedang memanggul rumput. Dia sehabis mengambil rumput dari ladang untuk memberi makan ternaknya. Senyum tulusnya mengembang. Dan, dia bertutur ramah mengingatkan saya.
“Hati-hati ya mas. Soalnya sepi. Jangan kesorean pulangnya.” pesan dia dalam logat Banyumasan atau Jawa Ngapak. Daerah Banjarnegara itu termasuk dalam kawasan yang dipengaruhi bahasa Jawa Banyumasan.
Benar katanya. Kondisi begitu sepi. Hening. Saat itu saya seperti mengunjungi sebuah ruang pribadi milik sendiri. Saya satu-satunya pengunjung. Siang di akhir pekan tak membuat kaum wisatawan berhasrat berkunjung ke lokasi yang menyuguhkan tiga hidangan pesona dalam satu piring destinasi. Masih sedikit orang yang mafhum, di pelosok Desa Giri Tirta, Kec. Pejawaran ini, ada Curug Genting, Sumber Air Panas Giri Tirta dan Curug Mrawu yang terletak bersebelahan sepanjang Sungai Mrawu, anak sungai Serayu.
Harus diakui, untuk menjangkaunya memang butuh perjuangan yang tak mudah. Sekalipun itu untuk orang lokal Banjarnegara. Teman saya yang asli Banjarnegara bahkan tak tahu menahu. Dari Kota Banjarnegara berjarak 35 km, ke utara, ke arah Dieng merayapi jejalanan pegunungan. Hingga Pasar Karangkobar, beloklah ke kanan ke arah Pejawaran. Sejauh 7 km, di sebelah kiri jalan akan ada Gapura Curug.
Mulai dari sini, jalanan berubah bergelombang, aspal mengelupas. Mulai dari sini, sering-seringlah bertanya kepada warga yang biasanya dijumpai di ladang, bercocok tanam aneka sayuran. Mereka pasti akan senang hati menunjukkannya. Sebagai destinasi wisata yang belum terangkat, masih minim petunjuk arah.

Curug Genting. Curug pertama setinggi 70 meter.
Bapak pencari rumput melintas jembatan bambu di atas sungai yang menjingga karena bercampur air panas.
Melewati hamparan sayuran yang di tanam di ladang warga. Menambah romantisme suasana menjelajah.

Jujur, rasanya tak akan menyesal hadir bersusah payah hingga tiba di Curug Genting. Benar indah, jauh seperti yang terbayang. Benar-benar inilah ruang imajinasi pribadi saya. Guyuran air tumpah dari ketinggian 70 meter. Di bawah telah menyambut bebatuan besar kecil yang berserakan. Rumput hijau tampak menghampari bebatuan itu di sisi luarnya. Aiiih.. Saya tiada hentinya mengucapkan syukur. Ini menjadi awal kepuasan lahir batin saya.
Saya tidak lama menyigi molek Curug Genting. Ini baru mula dari tiga pesona yang akan dikunjungi di Giri Tirta. Saya pun beranjak melangkah ke pesona kedua: Sumber Air Panas. Mulai dari sini, perjalanan melewati ladang-ladang sayuran milik Warga Giri Tirta. Pematang sempit menjadi jalan tempat kaki melangkah di antara ladang kubis, luncang, lombok, seledri, dan lain-lain.
Tampak para warga bersemangat merawat tanaman. Sesekali saya ‘ganggu’ mereka dengan lemparan senyum dan sapa. Dan tentunya, di sela kesibukannya, mereka dengan riangnya membalas senyum dan sapa saya. Sebuah kehangatan warga di tengah udara sejuk lereng pegunungan. Di lereng bukit seberang, ukiran ladang sayur beserta geliat warga petaninya juga tampak menjadi pesona yang bisa menebas lelah.  
Air Panas Giri Tirta menyambut saya dengan guyuran air hangatnya yang deras. Air ini berasal dari mata air di lereng bukit sebelah atas. Langsung muncul dari dalam perut bumi. Keunikannya, air panas ini lalu mengalir melalui ‘jalan’ yang terbentuk dari tanah yang menguning akibat reaksi kimia belerang. Daerah Perbukitan Giri Tirta ini memang dekat dengan Dieng yang aktif. Tepat terjadi persinggungan pancaran dari dapur magma yang mengena sumber mata air. Jadilah tercipta beberapa sumber dan aliran air panas yang menyembul ke daratan sebelum selanjutnya bergabung dengan sungai Mrawu ini.          
Saya begitu puas tatkala membasuhkan air hangat itu ke muka dan tangan. Asap dari uap air juga halus mengusap wajah. Tak hanya itu, saya biarkan kaki terus menerus dibelai mesra oleh air hangat. Lelah yang mendera dalam perjalanan seketika hilang. Badan terasa segar bugar. Angin sejuk yang hadir di lereng makin menambah saya masyuk terlempar makin dalam pada kenikmatan luar biasa. Hadir dan menikmati air panas ini juga menjadikan saya terasa awet muda. Secara medis, kandungan belerang itu bagus untuk perawatan kulit.

Air panas Giri Tirta. Deras mengalir. Muncul dari perut bumi di kawasan Giri Tirta. Mantap untuk mandi air panas.
Inilah jalur yang mengalirkan air panas dari mata air. Turun merayapi membentuk batuan kuning menjingga.
Debit air yang begitu besar. Memuncrat. Sekalipun musim kemarau tak memengaruhi debit air panas Giri Tirta.
Saya mulai lagi melangkahi pematang di antara ladang. Perlu berlanjut menuju tujuan paling akhir dan paling akbar petualangan. Apa lagi tujuannya kalau bukan Curug Mrawu? Dari Air Panas berjarak sekitar 200 meter. Saya begitu bersemangat menuju ujung perjalanan. Jauh datang-datang dari Jogja, menyepi, melakukan private travelling,berkontemplasi, sehari memanjakan diri, tentu saya harus menuntaskannya dengan sempurna.
Curug Mrawu sepertinya telah menunggu kehadiran saya dari tadi. Begitu tiba, dia langsung menyambut saya dengan semarak panoramanya. Alangkah luar biasa! Guyuran air begitu indah dengan kejatuhan air yang melompat pada batuan bertingkat-tingkat setinggi 60 meter. Mula-mula air turun dari satu aliran tunggal. Lalu, sembari menimpa bebatuan di bawahnya, air menyebar makin melebar hingga ke bawah. Cantik sentrifugal.
Maka, tiada kata yang tersebut pertama di mulut saya selain “Woow!! Subhanallah”. Saya teriak kencang-kencang dan saya yakin hanya tebing yang mau mendengarkannya.
Namun, panorama itu masih sepenggal cerita. Itu bukan apa-apa. Curug Mrawu memiliki satu lagi kekhasan yang tidak dimiliki air terjun manapun. Di sebelah kanan kiri Curug, terdapat sumber air panas. Luar biasa!! Kehadiran air panas membuat kolam yang menjadi tempat timpa Curug bercampur warna merah jingga. Bebatuan yang terserak menyempurnakan pesona.


Siapa yang tidak tertarik untuk menikmatinya? Saya tidak ingin menjadi manusia yang mendustakan nikmat Tuhan di sana. Saya pun nikmati sepenuh hati. Dalam duduk di atas bebatuan, saya menghadap Curug Mrawu sambil membiarkan kaki dibelai air hangat dan dingin yang hadir bersamaan. Pun, berkali-kali saya tersenyum sendiri, bernyanyi sendiri, kadang tertawa sendiri karena begitu gembiranya saya ‘menemukan’ Curug Mrawu.

Curug Mrawu berada di lingkungan ladang warga. Terselinap sunyi.
Di Curug Mrawu, air panas dan air dingin bisa bersatu. Warna merah adalah air panas.
Tak jauh dari Curug Mrawu juga ada air terjun mini yang menggerujug air panas. Makin menyempurnakan 'surga'
 
Kalau boleh, saya akan tahbiskan Curug Mrawu menjadi air terjun paling indah nomor dua di Jawa, setelah Air Terjun Madakaripura yang legendaris di Lereng Bromo. Tapi tentu saja, nilai plusnya bahwa masih sedikit yang menjamah Curug Mrawu, kalau tidak bisa dikatakan sebagai sang perawan jelita. Ini bukan sekedar ego saya, tapi sungguh bukti nyata teruntuk lekukan cantik Curug Mrawu. Sumpah!!
Kalau boleh juga, Curug Mrawu pantas menjadi sepenggal lokasi ‘surga’ dunia saya. Bukankah setiap pejalan juga perlu membuat ‘surga’nya sendiri? Kriterianya tak perlu rumit. Bukankah cukup tempat yang sunyi, indah dan menenangkan? Dalam hening, sepi, dan sendiri, waktu sejam di sana adalah kenikmatan tiada terkira. Tak ada bosannya mencumbu manis selangkangan Mrawu beserta suasana sekitarnya. Fuiiih, ini menjadi sebuah kado sempurna untuk ulang tahun saya.
Teringat pesan bapak pencari rumput yang berpapasan tadi, saya memutuskan pulang. Mentari memang telah merangkak pasti ke ufuk barat. Kini dianya telah pasti terhijab tinggi perbukitan. Hari mulai menggelap, menyongsong temaram senja. Saya pun meninggalkan Curug Mrawu dengan sejuta perasaan puas, riang dan gembira.
Karena Curug Mrawu lah, saya akhirnya menemukan ruang pribadi sebagai hadiah milad saya sendiri. Terima kasih untuk Mrawu dan alam sekitarnya atas ‘surga’ airnya. Dua air terjun dan satu air panas yang menakjubkan. 

Merendam kaki di aliran air panas. Fuiih nikmatnya. Sebuah hadiah ulang tahun sempurna untuk diri sendiri.
Curug Genting. Giri Tirta.
Langsung dari perut bumi. Menakjubkan. Sumber mata air di samping Curug Mrawu.
Ketika air panas bermuara di Sungai Mrawu.
Sungai Mrawu, Ladang Warga dan Curug Mrawu. Di sini, di atas rumput, saya menikmati suasana 'surga'.
Sayangnya di kawasan ini ada penambangan batu yang mengepras bukit. Dilema. Menjadi ladang hidup sebagian warga
Suasana Desa Giri Tirta. Asri. Agamis. Masjid menjadi pusat peradaban.
Curug Mrawu setinggi 60 meter. Panorama surgawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

16 Tahun Serangan “9/11”: WTC Runtuh Bukan karena Tabrakan Pesawat?

Sentimen Global Masih Ada, Rupiah Menguat di Hadapan Dolar AS

Contact Us