Menikmati Keindahan Bromo
Hari sudah agak siang ketika kami memutuskan untuk melakukan
perjalanan ke Gunung Bromo. Pukul 10.00 WIB, ketika saya melihat jam
dinding. Khusus bagi saya, perjalanan ke Bromo adalah sebuah napak tilas
setelah hampir empat tahun tidak ke sana.
Saya dan dua teman yang masing-masing mengendarai sepeda motor jenis
bebek langsung memilih tancap gas. Meski waktunya kurang ideal, kami
memutuskan berangkat dari titik perjalanan di Desa Kemantren, Kecamatan,
Jabung, Kabupaten Malang.
Kami memilih lewat Kecamatan Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan karena
sudah hafal jalur pintas guna ke Bromo. Dengan melewati perkebunan apel
dan sayuran yang menjadi ciri khas petani dataran tinggi, kami memacu
motor dengan gas penuh. Meski jalan tidak terlalu lebar dan mendaki,
namun menjadi semakin seru untuk ditaklukkan.
Teman saya memilih jalur memotong bukit yang hanya cukup bisa
dilewati motor. Setelah melalui perjalanan penuh debu, hampir dua jam
kemudian kami sudah sampai di Penanjakan.
Di bukit setinggi 2.770 meter itu, kami mampir sebentar untuk berfoto
dan melihat prasasti gugusan gunung Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru. Dari tempat itu, kalau cuaca cerah dan beruntung, kita bisa
setidaknya melihat tujuh gunung sekaligus. Yakni Gunung Batok, Bromo,
dan Semeru yang menjadi puncak tertinggi Pulau Jawa.
Setelah puas beristirahat sambil menikmati kopi dan sate kentang yang
dijajakan warga setempat, kami memutuskan turun ke padang pasir. Butuh
waktu 15 menit untuk menuruni jalur sepanjang hampir dua kilometer itu.
Jalur yang curam hingga 45 derajat menjadi rintangan tersendiri. Apalagi
separuh jalanan, aspal sudah mengelupas dan bermunculan batu runcing
yang membuat kami harus ekstra hati-hati. Terpelosok sedikit, nyawa
taruhannya.
Setelah sampai padang pasir, kami disuguhi pemandangan indah Gunung
Batok yang berada di depan mata. Namun kami harus terus melanjutkan
perjalanan yang sudah dekat. Sayangnya, hambatan muncul lagi. Pada akhir
Agustus lalu, cuaca benar-benar menyengat dan kata warga Suku Tengger,
sudah beberapa bulan hujan tidak turun.
Akibatnya adalah jalur yang biasa dilalui roda dua menjadi tidak
padat. Ketika saya mencoba memaksakan melaluinya, pasir dengan seketika
terbelah. Ban motor tidak bisa bergerak, meski gas sudah diputar
maksimal. Alhasil beberapa kali saya harus menuntun motor ketika
terjebak di medan lautan pasir yang tidak rata.
Enaknya, saya tidak sendiri mengalaminya. Dua rekan saya dan beberapa
pengendara lain juga mengalami hal sama. Cuma pengendara motor trail
saja yang bisa melibas jalur itu dengan santai tanpa perlu bersusah
payah turun dari tungganggannya. Karena jalur yang cukup sulit itu,
jarak dua kilometer ditempuh hampir 20 menit.
“Tapi ada enaknya, badang menjadi hangat karena berkeringat dan
sekaligus juga membesarkan otot tangan,” seloroh rekan saya, Nanang,
yang juga pemilik Uklam-Uklam Tour and Travel ini. Saat itu,
diperkirakan udara berada di kisaran 15 derajat celcius.
Karena masih dalam suasana liburan Lebaran saat sampai di sekitar Bromo, pengunjung cukup berjubel. Belasan mobil jeep
terjejer rapi di samping pura yang berada di bawah kawasan Bromo
menunggu penyewanya yang sepertinya tengah mendaki pucak. Sebelum
memarkir motor, saya disuguhi fenomena alam terjadinya topan dengan
diameter sekitar lima meter di sisi kanan pura. Cukup mengagumkan juga
pemandangan itu sampai saya berdiam sejenak menikmatinya, sebelum
akhirnya menuju puncak Bromo.
Jika ingin melihat kawah di dalam perut Bromo, ada alternatif
penyewaan kuda dengan tarif Rp 30 ribu yang ditawarkan penduduk
setempat. Harga itu sudah terbilang murah, sebab sebelum ditawar mereka
memasang tarif Rp 50 ribu. Kalau memang berniat menguji fisik, tidak ada
salahnya berjalan kaki, meski risikonya nafas tersenggal-senggal ketika
sampai di puncak.
Karena tangga terbilang sempit dan banyak pula wisatawan yang turun,
butuh waktu 10 menit untuk bisa sampai di atas. Sebelumnya, perlu
dipersiapkan kacamata maupun masker untuk terhindar dari debu yang
beterbangan maupun sinar matahari yang menyilaukan mata.
Saya cukup beruntung saat itu kawah tidak terlalu aktif. Jika sedang
banyak mengeluarkan gas belerang, wisatawan bakal dilarang melihat
kawah. Saya pernah mengalami sesak nafas akibat perut Bromo sedang
beraktivitas hingga menyebarkan gas yang membuat wisatawan berhamburan
menjauh dari lokasi dalam kunjungan sebelumnya. “Wah, ini pemandangan
lagi bagus-bagusnya dan cerah, jadi asyik kalau buat foto-foto,” kata
Bery Arfiandika, mahasiswa Universitas Brawijaya ini.
Ketika itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Sudah hampir 30
menit saya berkeliling kawah Bromo, sebelum teman saya menegur untuk
mengingatkan waktu yang terbilang sudah sore. Saya pun bergegas turun,
meski masih ada puluhan wisatawan yang betah berada di atas.
Dari situ, saya bergumam, memang tidak salah jika tidak ada yang
menyangkal, Bromo merupakan salah satu tempat wisata favorit. Baik
wisatawan lokal maupun mancanegara menjadi Bromo sebagai jujugan utama
yang wajib dikunjungi. Eksotisme dan keindahan yang ditawarkan memang
sulit ditandingi tempat wisata lainnya. Di Bromo, kita bisa menikmati
pemandangan menakjubkan saat matahari terbit. Tidak salah, kebanyakan
wisatawan berangkat malam atau sengaja menginap agar keesokan paginya
sudah sampai lokasi.
Selain menikmati pemandangan dari puncak Bromo, wisatawan bisa
melihat pemandangan Gunung Batok yang berjarak lima ratus meter. Ada
pula pura di tengah lautan padang pasir yang bisa menjadi objek foto
kalau ingin bernarsis ria atau sekadar mengabadikan momen.
Ada tiga jalan menuju ke tempat wisata Bromo. Pengunjung bisa lewat
jalur Probolinggo, Pasuruan, maupun Malang. Adapun saya berangkat lewat
jalur Pasuruan, dan balik melalui Malang. Karena ingin merasakan sensasi
wisata yang mengundang adrenalin, kami memilih pulang melalui jalur
menuju Kabupaten Malang.
Di sinilah serunya menikmati jalur ini. Kami memutar membelakangi
Bromo dan harus bisa menaklukkan tantangan padang pasir. Karena ban
motor kami cocok digunakan di jalan raya, maka perlu perjuangan ekstra
keras untuk mengendalikan tungganggan kami. Beberapa kali ban belakang
motor saya terjebak dan seolah terhisap pasir hingga hanya berputar
saja, tapi tidak bergerak. Kalau sudah begitu, salah satu teman harus
turun dan ikut mendorong. Hal itu harus dilakukan bergantian. Pasalnya
memang di sepanjang mata memandang, hanya ada pasir yang diaper
perbukitan.
Namun jangan salah mengira bahwa jalur ini sepi. Meski sudah sore,
kami sering berpapasan dengan pengendara motor maupun penumpang jeep
yang beriringin. Sial menimpa, Arif, pengendara motor dari Tumpang,
Malang. Dia sepertinya nekat pergi ke Bromo dengan mengendarai bebek
modifikasi yang menggunakan ban kecil. Ketika sampai di tengah
perjalanan padang pasir, ban belakangnya bocor.
Karena tidak ada pilihan, maka dia bersama temannya mencopot ban
belakang untuk dibawa ke rumah warga Tengger yang bisa menambal ban.
Kami hanya berbincang sebentar dengan Arif, sebelum melanjutkan
perjalanan. Selang 40 menit kemudian, kami berhenti area peristirahatan
yang menjadi tempat pemberhentian kendaraan. Sambil berjalan kaki, saya
mendekat ke Bukit Teletubbies.
Dinamakan Bukit Teletubbies lantaran sepanjang perbukitan itu
ditumbuhi rerumputan nan hijau. Meski sudah lama tidak turun hujan,
bukit itu masih terlihat indah di pandang lantaran berada di hawa
dingin. Saya sempat berfoto dengan latar belakang bukit tersebut. Ketika
itu, ada seorang pembalap yang tengah latihan dengan menuruni turunan
yang curam itu secara hati-hati dengan motor trail-nya sambil diabadikan video oleh temannya.
Tidak terasa jam tangan menunjukkan pukul 05.00. Selepas area
peristirahatan, kondisi jalan relatif cukup baik, meski beton yang ada
sudah banyak terkelupas. Motor kami tidak perlu lagi bersusah-payah
menaklukkan medan berat. Lima menit kemudian kami sudah sampai di
Jemplang, sebuah pertigaan di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo,
Malang. Menjelang matahari terbenam, puluhan wisatawan, baik yang dari
Bromo maupun baru datang guna meneruskan perjalanan ke Gunung Semeru
berkumpul di situ.
Dari titik Jemplang, kalau wisatawan ingin ke Bromo, maka memilih
jalur kiri menuruni Bukit Teletubbies. Sedangkan jika ingin menuju Ranu
Pane, Ranu Kumbolo, atau bahkan Puncak Mahameru, pengunjung harus
mengikuti jalur ke arah kanan menuju wilayah yang masuk Kabupaten
Lumajang.
Kami bertiga menikmati seduhan mie instans kuah dengan bumbu tambahan
Lombok terong. Yang dimaksud lombok terong adalah cabai ukuran dua jari
orang dewasa yang menjadi tanaman khas Suku Tengger. Meski tidak
mengenyangkan, hal itu sudah cukup untuk mengganjal perut kami. Pukul
17.45 WIB, kami memacu kendaraan menuruni hutan lebat dengan kondisi
jalan di beton. Cukup telat untuk melakukan perjalanan karena sudah
gelap, tapi karena sudah cukup hafal medan jadi kendala itu bisa
diatasi.
Selama menuruni jalur dari Jemplang, kami banyak menemui warga
Tengger yang banyak berkumpul di depan rumah atau diperapian dadakan
yang mereka buat. Hal itu tentu menjadi hiburan tersendiri untuk memecah
keheningan dan suara jangkring yang mendampingi perjalanan kami. Andai
saja waktu itu masih siang, saya pasti akan mampir ke Coban Trisula atau
Coban Pelangi yang sangat kesohor itu. Namun keinginan itu saya pendam
dulu hingga di lain hari saya berjanji untuk kembali mengunjungi dua
tempat wisata air terjun itu.
Semakin ke bawah, kami dengan mudah menemukan permukiman penduduk.
Tidak terasa, saya sampai rumah menjelang pukul 20.00 WIB. Saya tidak
sadar ketika melepas jaket hitam dan mendapatinya berubah warna dipenuhi
debu kecoklatan. Saya juga bergegas mencopot kedua sepatu yang saya
pakai untuk membuang pasir yang memenuhi sepatu tersebut. “Sangat capai,
tapi luar biasa seru,” kata Bery. Tentu, pengalaman melakukan
perjalanan 10 jam non-stop sangat seru. Saya sebut perjalanan ini
tidak dapat dilupakan dan bisa menjadi bahan obrolan saya ketika
kembali bekerja di Ibu Kota.
Komentar
Posting Komentar