SUPREMASI KOMODITAS NUSANTARA

Indonesia adalah negara berperekonomian agraris yang sangat kaya akan komoditas. Komoditas hasil bumi Nusantara telah menjadi andalan perdagangan global sejak dahulu kala. Bahkan ribuan tahun sebelum Masehi, komoditas pohon kamper yang pernah hanya ada dan tumbuh di pulau Sumatera di bagian utara telah ramai diperdagangkan (globally traded)  terutama ke Mesir. Kala itu ekstrak dari pohon kamper telah menjadi salah satu raw material  utama pembentuk ramuan balsem pengawet mumi jasad Firaun. Artinya, Nusantara pernah jaya digdaya dalam ranah perdagangan komoditas global. Kini potensi itu pun masih ada dan relatif sangat besar. 

Apa relevansi komoditas dengan perekonomian? Secara prinsip, tiada perekonomian zonder komoditas. Sebelum ada uang di planet ini, semua transaksi berbasis barter, komoditas ditukar komoditas lainnya. Dalam ekonomi positif, ini relevan dengan opportunity cost. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih akseleratif jika industri komoditas nusantara dikelola secara lebih proper, efisien dan efektif. Namun sayangnya itu belum kejadian. Konsekuensinya, ada nilai peluang besar yang tak jadi diperoleh negara karena agenda pembangunan ekonomi terkini belum menaruh implementasi pengembangan industri komoditas di posisi urjen/utama dalam skala prioritas.

Kini pemerintah sangat fokus dalam pengembangan ranah infrastruktur di sisi distribusi. Hal itu baik namun baru mencakup sepertiga saja dari total elemen dalam sistem perekonomian (produksi, distribusi, konsumsi). Memang industri komoditas nusantara membutuhkan pengembangan baik di fasa produksi maupun fasa distribusi, dalam hal ini ranah infrastruktur. Namun dinamika pasar fisik komoditas Nusantara sebenarnya lebih bisa terpicu dengan adanya pengembangan nyata di fasa produksi (supply-side) dan konsumsi(demand-side), sebagai wadah pembentukan harga pasar komoditas.  Sebagai ilustrasi, kopi adalah salah satu komoditas dimana Indonesia adalah produsen ke-3 terbesar dunia, terbesar untuk robusta. Sayangnya, PDM komoditas kopi belum sepenuhnya mengacu pada referensi harga Nusantara. Memang Lampung kini menjadi referensi harga spot robusta, sementara futures nya masih mengacu ke London. Untuk kopi arabica, Medan menjadi acuan spot, New York untuk futures nya.

Ada pepatah, “di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.” Jika esensi pepatah ini dipetakan ke dalam ilmu ekonomi akan berbunyi “di mana harga terbentuk, di situ pasar bertumbuh.” Supremasi komoditas Nusantara hanya dapat terwujud jika dan hanya jika Indonesia memiliki economic bargaining power dalam PDM.

Oleh : Tumpal Sihombing
Chief Research Officer – R&D
PT Rifan Financindo Berjangka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

16 Tahun Serangan “9/11”: WTC Runtuh Bukan karena Tabrakan Pesawat?

Sentimen Global Masih Ada, Rupiah Menguat di Hadapan Dolar AS

Contact Us