Jaksa Tolak Pencabutan BAP Panitera PN Jakpus soal Pengakuan Terima Suap
JAKARTA, Rifan Financindo Berjangka - Jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Sebelumnya, Edy menyatakan mencabut beberapa keterangannya saat diperiksa oleh penyidik KPK.
Beberapa keterangan yang dicabut, pada intinya berisi pengakuannya menerima suap terkait pengurusan perkara sejumlah perusahaan di bawah Lippo Group.
"Tanpa alasan yuridis, maka permintaan pencabutan keterangan harus dikesampingkan," ujar Jaksa Joko Hermawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Dalam beberapa BAP, Edy Nasution mengakui bahwa pemberian uang sebesar Rp 50 juta dari pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno, bukanlah yang pertama kali.
Pada Desember 2015, ia menerima pemberian Rp 100 juta di basement Hotel Acacia, Jakarta.
Selain itu, dalam BAP 11 Maret 2016, Edy mengakui bahwa ia pernah menerima uang terkait proses permohonan peninjauan kembali PT Across Asia Limited yang telah melewati batas waktu pengajuan.
Kemudian, pada 23 Februari 2016, ia menerima uang dari Doddy Aryanto Supeno, sebagai orang suruhan dari Wresti Kristian Hesti (pegawai bagian legal Lippo Group).
Kemudian, pada BAP 25 April 2016, Edy mengatakan bahwa setiap pengurusan perkara terkait Lippo Group di PN Jakarta Pusat selalu dilakukan dan oleh Hesti.
"Keterangan Edy Nasution dapat mendukung pembuktian unsur pemberian uang," kata Jaksa.
Dalam kasus ini, Doddy dinilai terbukti memberi suap sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Ada pun, uang suap Rp 150 juta tersebut diberikan agar Edy Nasution selaku panitera menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL).
Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang. Kedua perusahaan tersebut merupakan anak usaha Lippo Group.
Dalam surat tuntutan, uang suap juga dimaksudkan agar Edy Nasution membantu mengurus perkara salah satu anak usaha Lippo Group, yakni PT Jakarta Baru Cosmopolitan.
Edy membantu mengubah surat pengadilan mengenai putusan eksekusi, dengan kalimat dari "belum dapat dieksekusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".
Penyuapan melibatkan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.
Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum, sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara, termasuk Edy Nasution.
Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara. Rifan Financindo Berjangka
Sebelumnya, Edy menyatakan mencabut beberapa keterangannya saat diperiksa oleh penyidik KPK.
Beberapa keterangan yang dicabut, pada intinya berisi pengakuannya menerima suap terkait pengurusan perkara sejumlah perusahaan di bawah Lippo Group.
"Tanpa alasan yuridis, maka permintaan pencabutan keterangan harus dikesampingkan," ujar Jaksa Joko Hermawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Dalam beberapa BAP, Edy Nasution mengakui bahwa pemberian uang sebesar Rp 50 juta dari pegawai Lippo Group Doddy Aryanto Supeno, bukanlah yang pertama kali.
Pada Desember 2015, ia menerima pemberian Rp 100 juta di basement Hotel Acacia, Jakarta.
Selain itu, dalam BAP 11 Maret 2016, Edy mengakui bahwa ia pernah menerima uang terkait proses permohonan peninjauan kembali PT Across Asia Limited yang telah melewati batas waktu pengajuan.
Kemudian, pada 23 Februari 2016, ia menerima uang dari Doddy Aryanto Supeno, sebagai orang suruhan dari Wresti Kristian Hesti (pegawai bagian legal Lippo Group).
Kemudian, pada BAP 25 April 2016, Edy mengatakan bahwa setiap pengurusan perkara terkait Lippo Group di PN Jakarta Pusat selalu dilakukan dan oleh Hesti.
"Keterangan Edy Nasution dapat mendukung pembuktian unsur pemberian uang," kata Jaksa.
Dalam kasus ini, Doddy dinilai terbukti memberi suap sebesar Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Ada pun, uang suap Rp 150 juta tersebut diberikan agar Edy Nasution selaku panitera menunda proses "aanmaning" atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL).
Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang. Kedua perusahaan tersebut merupakan anak usaha Lippo Group.
Dalam surat tuntutan, uang suap juga dimaksudkan agar Edy Nasution membantu mengurus perkara salah satu anak usaha Lippo Group, yakni PT Jakarta Baru Cosmopolitan.
Edy membantu mengubah surat pengadilan mengenai putusan eksekusi, dengan kalimat dari "belum dapat dieksekusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".
Penyuapan melibatkan pegawai (bagian legal) PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, dan mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro.
Awalnya, Lippo Group menghadapi beberapa perkara hukum, sehingga Eddy Sindoro menugaskan Hesti untuk melakukan pendekatan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara, termasuk Edy Nasution.
Eddy Sindoro juga menugaskan Doddy untuk melakukan penyerahan dokumen maupun uang kepada pihak-pihak lain yang terkait perkara. Rifan Financindo Berjangka
Komentar
Posting Komentar