Terkoreksi, saatnya koleksi saham bank
JAKARTA -- Rifan Financindo Berjangka -- Sektor perbankan mendominasi pemberat atau laggard Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang November 2016. Akibatnya, indeks menyusut 5,4% ke level 5.122.
Di awal November, IHSG masih bertengger di level 5.399. Harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) selama bulan ini merosot 10% ke level Rp 10.925 per saham. Sehingga, saham bank ini mengurangi level IHSG sebanyak 28,8 poin.
Penurunan harga terbesar terjadi pada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), yakni mencapai 11% menuju Rp 10.150 per saham. Level IHSG pun tergerus 28,4 poin karena saham ini. Sementara, harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sepanjang November turun 6% ke Rp 14.525 per saham.
Akibatnya, level indeks saham berkurang sebanyak 22,6 poin. "Pemicunya, karena saham-saham tersebut sudah priced in," ungkap Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo kepada KONTAN, Ahad (27/11).
Investor memburu saham itu lantaran prospek fundamentalnya. Memang, ketiga saham bank itu terlihat reli bahkan sejak Juni. Saham BBRI, misalnya. Di periode Juni, harga terendahnya masih di level Rp 9.975 per saham sebelum mencapai level perdagangan akhir pekan lalu.
Lalu, level terendah BMRI dan BBCA pada Juni masing-masing Rp 8.950 dan Rp 12.775 per saham. Masalahnya adalah, beberapa kinerja perbankan berada di bawah estimasi konsensus. "Positif, tapi ada yang di bawah ekspektasi pasar," tambah Lucky.
Karena sentimen ini, investor mulai mengambil posisi jual saham bank. Sentimen negatif semakin kuat gara-gara sinyal kenaikan suku bunga acuan The Fed Desember nanti.
Belum lagi, banyak sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri, sepanjang November ini.
Head of Research Daewoo Securities Indonesia Taye Shim mengungkapkan hal senada. Bahkan, saham perbankan sudah bersiap reli sejak awal tahun. Kala itu Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps).
Setelah itu, ada isu Brexit yang memicu bank sentral sejumlah negara melakukan kebijakan easing, sehingga membuat permintaan aset berisiko meningkat.
Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia mendengungkan rencana program amnesti pajak atawa tax amnesty. Indeks langsung menembus level 5.000. Saham big cap termasuk perbankan mulai ramai-ramai dilepas sejak munculnya Trump Effect, pasca pemilihan Presiden Amerika Serikat.
"Big cap dilanda aksi jual karena mereka memang the darlings of the market sepanjang tahun ini," tulis Taye di riset akhir pekan lalu. The darlings of the market berarti juga prospek saham big cap ke depan.
Namun, Taye memprediksikan, investor asing yang banyak menjual saham big cap suatu saat akan kembali ke emerging market. Justru saham-saham yang sudah menjadi laggard itu yang akan jadi buruan investor asing.
"Sebab, saham yang sudah undervalued (laggard) justru memiliki outlook pertumbuhan yang konkret," ungkap Taye.
Lucky juga bilang, tidak ada salahnya jika investor ingin masuk saham big cap khususnya perbankan. Soalnya, situasi pasar akan kembali kondusif setelah ada kepastian suku bunga The Fed.
"Awal pekan ini sudah bisa mulai masuk," katanya. Tapi, rasionalisasi risiko tetap harus ada. Jangan semua target transaksi masing-masing investor dihabiskan semua ke saham perbankan.
"Sekitar 40% dari target transaksi bisa untuk beli saham bank, sisanya masuk ke konsumer," imbuh Lucky.
Di awal November, IHSG masih bertengger di level 5.399. Harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) selama bulan ini merosot 10% ke level Rp 10.925 per saham. Sehingga, saham bank ini mengurangi level IHSG sebanyak 28,8 poin.
Penurunan harga terbesar terjadi pada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), yakni mencapai 11% menuju Rp 10.150 per saham. Level IHSG pun tergerus 28,4 poin karena saham ini. Sementara, harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) sepanjang November turun 6% ke Rp 14.525 per saham.
Akibatnya, level indeks saham berkurang sebanyak 22,6 poin. "Pemicunya, karena saham-saham tersebut sudah priced in," ungkap Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo kepada KONTAN, Ahad (27/11).
Investor memburu saham itu lantaran prospek fundamentalnya. Memang, ketiga saham bank itu terlihat reli bahkan sejak Juni. Saham BBRI, misalnya. Di periode Juni, harga terendahnya masih di level Rp 9.975 per saham sebelum mencapai level perdagangan akhir pekan lalu.
Lalu, level terendah BMRI dan BBCA pada Juni masing-masing Rp 8.950 dan Rp 12.775 per saham. Masalahnya adalah, beberapa kinerja perbankan berada di bawah estimasi konsensus. "Positif, tapi ada yang di bawah ekspektasi pasar," tambah Lucky.
Karena sentimen ini, investor mulai mengambil posisi jual saham bank. Sentimen negatif semakin kuat gara-gara sinyal kenaikan suku bunga acuan The Fed Desember nanti.
Belum lagi, banyak sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri, sepanjang November ini.
Head of Research Daewoo Securities Indonesia Taye Shim mengungkapkan hal senada. Bahkan, saham perbankan sudah bersiap reli sejak awal tahun. Kala itu Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps).
Setelah itu, ada isu Brexit yang memicu bank sentral sejumlah negara melakukan kebijakan easing, sehingga membuat permintaan aset berisiko meningkat.
Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia mendengungkan rencana program amnesti pajak atawa tax amnesty. Indeks langsung menembus level 5.000. Saham big cap termasuk perbankan mulai ramai-ramai dilepas sejak munculnya Trump Effect, pasca pemilihan Presiden Amerika Serikat.
"Big cap dilanda aksi jual karena mereka memang the darlings of the market sepanjang tahun ini," tulis Taye di riset akhir pekan lalu. The darlings of the market berarti juga prospek saham big cap ke depan.
Namun, Taye memprediksikan, investor asing yang banyak menjual saham big cap suatu saat akan kembali ke emerging market. Justru saham-saham yang sudah menjadi laggard itu yang akan jadi buruan investor asing.
"Sebab, saham yang sudah undervalued (laggard) justru memiliki outlook pertumbuhan yang konkret," ungkap Taye.
Lucky juga bilang, tidak ada salahnya jika investor ingin masuk saham big cap khususnya perbankan. Soalnya, situasi pasar akan kembali kondusif setelah ada kepastian suku bunga The Fed.
"Awal pekan ini sudah bisa mulai masuk," katanya. Tapi, rasionalisasi risiko tetap harus ada. Jangan semua target transaksi masing-masing investor dihabiskan semua ke saham perbankan.
"Sekitar 40% dari target transaksi bisa untuk beli saham bank, sisanya masuk ke konsumer," imbuh Lucky.
Rifan Financindo Berjangka
Komentar
Posting Komentar