Aturan Baru Terbit, Freeport Terancam Tak Bisa Ekspor Mineral
Jakarta, PT Rifan Financindo -- Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 Atas Perubahan
Keempat PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Di dalam peraturan tersebut, pemerintah masih memperbolehkan pelaksanaan ekspor mineral asal pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) berkomitmen untuk membangun proses pemurnian mineral (smelter).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebut, pelaksanaan ekspor mineral merujuk pada pasal 112 ayat 5 di dalam peraturan tersebut, di mana ketentuan terkait diturunkan terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Permen tersebut menyebutkan, ekspor mineral boleh dilakukan pemegang IUP dan IUPK dalam jangka lima tahun sampai smelter selesai dibangun.
Nantinya, pembangunan smelter akan dipantau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah dan akan mengevaluasi tingkat kemajuan (progress) smelter dalam jangka waktu enam bulan sekali.
"IUP atau IUPK harus menunjukkan itikad bangun smelter dan pemurnian, ini akan dimonitor oleh pihak yang ditunjuk pemerintah mengawasi tahap-tahap pembangunan. Kalau tidak ada progress, ya setop izin ekspornya," ujar Jonan, Kamis (12/1)
Lebih lanjut ia menuturkan, kemajuan pembangunan fisik smelter minimal harus mencapai 90 persen dari perencanaan jika ingin mendapatkan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM. Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan bea keluar khusus jika IUP atau IUPK bisa mendapatkan relaksasi ekspor.
Sampai saat ini, ia pun masih belum tahu besaran bea keluar yang akan dikenakan mengingat keputusan itu sudah berada di ranah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, Jonan mengatakan bahwa Kementerian ESDM meminta bea keluar maksimal sebesar 10 persen dari nilai penjualan.
"Kami usulkan 10 persen, tapi nanti keputusannya tergantung Kemenkeu," lanjut Jonan.
Kendati demikian, fasilitas ekspor mineral ini hanya bisa dinikmati oleh perusahaan tambang berjenis IUP atau IUPK saja. Maka, perusahaan tambang dengan izin Kontrak Karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia, tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.
Kendati demikian, Jonan menyebut bahwa perusahaan-perusahaan dengan izin KK bisa melakukan ekspor jika berkenan mengubah izinnya menjadi IUPK. Pemerintah, lanjutnya, juga tidak memaksa KK untuk mengubah status kontraknya menjadi IUPK.
"Perubahan ke IUPK itu tidak wajib. Kalau mau KK terus ya tidak apa-apa, namun sesuai pasal 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009, mereka dalam lima tahun wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian. Silahkan saja KK, asal jangan ekspor," tegas Jonan.
Melengkapi ucapan Jonan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menerangkan, ekspor konsentrat diperbolehkan jika smelter di dalam negeri tidak bisa menampung produksi dari pemegang IUP atau IUPK. Pemerintah sendiri menetapkan produksi IUP dan IUPK bisa diserap minimal 30 persen dari kapasitas input smelter tersebut.
Namun, bukan berarti pemerintah tidak memberi batasan terkait komoditas yang bisa diekspor. Mengutip pasal 9 Permen Nomor 6 Tahun 2017, ekspor bagi ore nikel diperbolehkan jika memiliki kadar di bawah 1,7 persen. Selain itu, ore bauksit juga diperbolehkan untuk diekspor asal telah dilakukan pencucian terlebih dahulu.
"Tapi tentu saja persyaratan utamanya adalah komitmen bangun smelter. Selama lima tahun setelah itu, tidak ada lagi ceritanya ekspor mineral mentah," ujar Bambang.
Di dalam peraturan tersebut, pemerintah masih memperbolehkan pelaksanaan ekspor mineral asal pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) berkomitmen untuk membangun proses pemurnian mineral (smelter).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyebut, pelaksanaan ekspor mineral merujuk pada pasal 112 ayat 5 di dalam peraturan tersebut, di mana ketentuan terkait diturunkan terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Permen tersebut menyebutkan, ekspor mineral boleh dilakukan pemegang IUP dan IUPK dalam jangka lima tahun sampai smelter selesai dibangun.
Nantinya, pembangunan smelter akan dipantau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah dan akan mengevaluasi tingkat kemajuan (progress) smelter dalam jangka waktu enam bulan sekali.
"IUP atau IUPK harus menunjukkan itikad bangun smelter dan pemurnian, ini akan dimonitor oleh pihak yang ditunjuk pemerintah mengawasi tahap-tahap pembangunan. Kalau tidak ada progress, ya setop izin ekspornya," ujar Jonan, Kamis (12/1)
Lebih lanjut ia menuturkan, kemajuan pembangunan fisik smelter minimal harus mencapai 90 persen dari perencanaan jika ingin mendapatkan rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM. Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan bea keluar khusus jika IUP atau IUPK bisa mendapatkan relaksasi ekspor.
Sampai saat ini, ia pun masih belum tahu besaran bea keluar yang akan dikenakan mengingat keputusan itu sudah berada di ranah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, Jonan mengatakan bahwa Kementerian ESDM meminta bea keluar maksimal sebesar 10 persen dari nilai penjualan.
"Kami usulkan 10 persen, tapi nanti keputusannya tergantung Kemenkeu," lanjut Jonan.
Kendati demikian, fasilitas ekspor mineral ini hanya bisa dinikmati oleh perusahaan tambang berjenis IUP atau IUPK saja. Maka, perusahaan tambang dengan izin Kontrak Karya (KK) seperti PT Freeport Indonesia, tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.
Kendati demikian, Jonan menyebut bahwa perusahaan-perusahaan dengan izin KK bisa melakukan ekspor jika berkenan mengubah izinnya menjadi IUPK. Pemerintah, lanjutnya, juga tidak memaksa KK untuk mengubah status kontraknya menjadi IUPK.
"Perubahan ke IUPK itu tidak wajib. Kalau mau KK terus ya tidak apa-apa, namun sesuai pasal 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009, mereka dalam lima tahun wajib membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian. Silahkan saja KK, asal jangan ekspor," tegas Jonan.
Melengkapi ucapan Jonan, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menerangkan, ekspor konsentrat diperbolehkan jika smelter di dalam negeri tidak bisa menampung produksi dari pemegang IUP atau IUPK. Pemerintah sendiri menetapkan produksi IUP dan IUPK bisa diserap minimal 30 persen dari kapasitas input smelter tersebut.
Namun, bukan berarti pemerintah tidak memberi batasan terkait komoditas yang bisa diekspor. Mengutip pasal 9 Permen Nomor 6 Tahun 2017, ekspor bagi ore nikel diperbolehkan jika memiliki kadar di bawah 1,7 persen. Selain itu, ore bauksit juga diperbolehkan untuk diekspor asal telah dilakukan pencucian terlebih dahulu.
"Tapi tentu saja persyaratan utamanya adalah komitmen bangun smelter. Selama lima tahun setelah itu, tidak ada lagi ceritanya ekspor mineral mentah," ujar Bambang.
PT Rifan Financindo
Komentar
Posting Komentar