Harga Minyak Kembali Tergerus Akibat Penguatan Dolar
Jakarta, Rifan Financindo -- Harga minyak dunia
turun sebesar 2 persen pada hari Selasa (10/1) waktu Amerika Serikat
(AS), menyebabkan harga minyak menuju titik terendah selama sebulan
terakhir.
Penguatan mata uang dolar AS dan keraguan akan pemangkasan produksi organisasi negara-negara pengekspor minyak mentah (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) menjadi penyebab utama pelemahan tersebut.
Dikutip dari Reuters, Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya terlihat akan memangkas produksi. Namun, masih belum jelas apakah produsen minyak lain akan mengikuti jejak negara Arab tersebut.
Irak, contohnya. Negara produsen minyak terbesar ke-dua diantara seluruh negara OPEC itu mengatakan akan meningkatkan ekspor dari pelabuhan Basra pada bulan Februari mendatang. Pelabuhan di Selatan Irak itu telah mencapai rekor ekspor tertinggi di awal Januari lalu.
Di sisi lain, meningkatnya nilai tukar dolar AS juga menekan harga minyak yang dibanderol menggunakan denominasi mata uang tersebut.
Hasilnya, harga Brent LCOc1 ditutup melemah di posisi US$53,64 per barel, atau turun US$1,30 per barel dan merupakan titik terendah sejak 15 Desember silam. Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) berjangka CLc1 ditutup melemah US$1,14 ke angka US$50,82 per barel.
Harga tak bergerak banyak setelah data American Petroleum Institute (API) mengatakan terdapat tambahan persediaan minyak sebesar 1,5 juta barel pada pekan lalu. Angka ini lebih besar dari prediksi analis, di mana persediaan minyak diperkirakan bertambah 1,2 juta barel.
Selain itu, Energy Information Administration (EIA) AS meningkatkan prediksi pertumbuhan produksi minyak di tahun 2017 sebesar 110 ribu barel per hari (bph). Padahal, institusi ini meramal adanya penurunan produksi sebesar 80 ribu bph untuk tahun ini.
Penguatan mata uang dolar AS dan keraguan akan pemangkasan produksi organisasi negara-negara pengekspor minyak mentah (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) menjadi penyebab utama pelemahan tersebut.
Dikutip dari Reuters, Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya terlihat akan memangkas produksi. Namun, masih belum jelas apakah produsen minyak lain akan mengikuti jejak negara Arab tersebut.
Irak, contohnya. Negara produsen minyak terbesar ke-dua diantara seluruh negara OPEC itu mengatakan akan meningkatkan ekspor dari pelabuhan Basra pada bulan Februari mendatang. Pelabuhan di Selatan Irak itu telah mencapai rekor ekspor tertinggi di awal Januari lalu.
Di sisi lain, meningkatnya nilai tukar dolar AS juga menekan harga minyak yang dibanderol menggunakan denominasi mata uang tersebut.
Hasilnya, harga Brent LCOc1 ditutup melemah di posisi US$53,64 per barel, atau turun US$1,30 per barel dan merupakan titik terendah sejak 15 Desember silam. Sementara minyak West Texas Intermediate (WTI) berjangka CLc1 ditutup melemah US$1,14 ke angka US$50,82 per barel.
Harga tak bergerak banyak setelah data American Petroleum Institute (API) mengatakan terdapat tambahan persediaan minyak sebesar 1,5 juta barel pada pekan lalu. Angka ini lebih besar dari prediksi analis, di mana persediaan minyak diperkirakan bertambah 1,2 juta barel.
Selain itu, Energy Information Administration (EIA) AS meningkatkan prediksi pertumbuhan produksi minyak di tahun 2017 sebesar 110 ribu barel per hari (bph). Padahal, institusi ini meramal adanya penurunan produksi sebesar 80 ribu bph untuk tahun ini.
Harga minyak mentah melemah pada Selasa
(10/1/2017) di tengah spekulasi bahwa pasokan minyak mentah AS meningkat
dan keraguan pasar atas kepatuhan OPEC dan eksportir lainnya dengan
perjanjian pengurangan produksi.
Harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari turun US$1.14 ke atau 2,2% ke level US$50,82 per barel di New York Mercantile Exchange. Ini adalah penutupan terendah sejak 7 Desember,
Sementara itu, minyak Brent untuk pengiriman Maret turun US$1,30 atau 2,4% ke US$53,64 per barel di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London.
Analis yang disurvei Bloomberg memproyeksikan bahwa laporan Badan Administrasi Energi AS (EIA) pada hari Rabu akan menunjukkan bahwa pasokan minyak mentah naik 1,5 juta barel pekan lalu.
Sebelumnya, harga minyak sempat menguat setelah Rusia, Irak, Kazakhstan dan Azerbaijan mengatakan mereka akan menerapkan pemotongan produksi sesuai dengan kesepakatan tahun lalu, mengikuti pernyataan Kuwait pada Senin bahwa produsen negara Teluk mulai membatasi produksi.
"Mulai sekarang sampai Maret kita akan melihat persediaan minyak mentah naik," kata Bill O'Grady, kepala analis pasar Confluence Investment Management, seperti dikutip Bloomberg.
Sementara itu, EIA menyatakan dalam outlook energi jangka pendak bahwa AS akan memompa 9 juta barel per hari minyak mentah tahun ini, naik dari 8,78 juta barel yang diproyeksikan pada bulan Desember.
Harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman Februari turun US$1.14 ke atau 2,2% ke level US$50,82 per barel di New York Mercantile Exchange. Ini adalah penutupan terendah sejak 7 Desember,
Sementara itu, minyak Brent untuk pengiriman Maret turun US$1,30 atau 2,4% ke US$53,64 per barel di ICE Futures Europe exchange yang berbasis di London.
Analis yang disurvei Bloomberg memproyeksikan bahwa laporan Badan Administrasi Energi AS (EIA) pada hari Rabu akan menunjukkan bahwa pasokan minyak mentah naik 1,5 juta barel pekan lalu.
Sebelumnya, harga minyak sempat menguat setelah Rusia, Irak, Kazakhstan dan Azerbaijan mengatakan mereka akan menerapkan pemotongan produksi sesuai dengan kesepakatan tahun lalu, mengikuti pernyataan Kuwait pada Senin bahwa produsen negara Teluk mulai membatasi produksi.
"Mulai sekarang sampai Maret kita akan melihat persediaan minyak mentah naik," kata Bill O'Grady, kepala analis pasar Confluence Investment Management, seperti dikutip Bloomberg.
Sementara itu, EIA menyatakan dalam outlook energi jangka pendak bahwa AS akan memompa 9 juta barel per hari minyak mentah tahun ini, naik dari 8,78 juta barel yang diproyeksikan pada bulan Desember.
Rifan Financindo
Komentar
Posting Komentar