Negosiasi RI-UE Bisa Terganggu Masalah Sawit

Jakarta -- Rifanfinancindo --  Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, masalah produk sawit Indonesia yang tengah dipersoalkan Uni Eropa (UE) bisa mengganggu negosiasi perdagangan bebas Indonesia-Uni Eropa dalam CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Seperti diketahui, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi yang menyatakan sawit Indonesia terkait erat dengan isu deforestasi hutan, pelanggaran HAM, korupsi, pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Parlemen Uni Eropa juga melarang Indonesia untuk mengekspor sawit dan biodiesel ke negara lain.

"Saya menyampaikan kepada Menteri Perdagangan Uni Eropa bahwa bagaimana kita membicarakan CEPA itu, bagaimana kita mau membicarakan perdagangan bebas, kalau tidak ada perlakuan yang adil," kata Enggar di Jakarta, Rabu (19/4).

Menurutnya, ada standar ganda Parlemen Uni Eropa dalam tudingan miringnya pada sawit Indonesia. Padahal komoditas andalan ekspor Indonesia itu telah bersertifikat pengelolaan sawit lingkungan berkelanjutan lewat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). "Kenapa vegetable oil Eropa mereka diamkan, sebab yang tanaman seperti itu dimulai juga dengan gundulkan hutan. Kalau kita ada ISPO di sawit, dan SVLK di kayu tandanya negara kami sudah komitmen dengan itu (lingkungan)," tukas Enggar.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron mengatakan bakal menjawab dan memberikan tanggapan secara formal terkait dengan keluarnya resolusi Parlemen Eropa itu. Menurutnya, hal tersebut bisa merupakan peringatan, tetapi bila ternyata sifatnya subyektif dan diskriminatif, maka resolusi itu harus dilawan.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang menegaskan, Indonesia memiliki sertifikasi ISPO yang diyakini jauh lebih baik dibanding sertifikasi lainnya. "Seperti misalnya SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) itu hanya memberikan sertifikasi untuk produk akhirnya.

Kalau ISPO lebih lengkap, karena sertifikasinya juga untuk kebun dan tanaman yang tertinggal. Itu juga jadi tanggung jawab, jadi ISPO ini betul-betul lebih baik dibanding sertifikasi negara lain," tuturnya.

Sementara untuk isu deforestasi, menurut Bambang, tidak semua kebun kelapa sawit di Indonesia ada di hutan belantara. Bambang juga yakin bahwa tanaman sawit justru berdampak baik terhadap lingkungan sebab tanaman ini bisa menyerap air cukup besar."Sehingga bisa menahan laju air, di beberapa tempat justru mengantisipasi deforestasi," katanya.

Seger Budiarjo, Direktur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sebagai holding BUMN Perkebunan mengatakan kelapa sawit memang menjadi pemasukan utama pihaknya karena memiliki lahan sawit kurang lebih 400.000 hektare (ha). "Dari 14 PTPN yang ada, 11 PTPN itu utamanya dari kelapa sawit," katanya.

Dari total lahan tersebut, PTPN III bersama entitas lainnya bisa menghasilkan produk CPO (crude palm oil/minyak sawit) sekitar 2,5 juta-3 juta ton per tahun.

Hasil produksi tersebut diekspor melalui PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). "Jadi kita tidak ekspor ke Eropa, tapi melalui KPBN," imbuhnya.

Sebagai pemain kelapa sawit besar di Indonesia, PTPN memang mempunyai lahan kelapa sawit di hutan. Namun, Seger menegaskan lokasi lahan kelapa sawit itu jauh sebelum adanya aturan pelarangan untuk membuka lahan kebun kelapa sawit di hutan.

"Itu indikasi, karena kebun sawit milik PTPN itu sudah jauh ditanami sebelum penetapan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan. Jadi dulu sudah ada izinnya, sudah ada sertifikat hak guna usaha. Jadi enggak melanggar," tegasanya.

Sedangkan untuk urusan sertifikasi baik untuk ISPO dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), PTPN yakin sudah menaati dengan baik. Dari total pabrik CPO milik PTPN sekitar 40% telah tersertifikasi ISPO dan RSPO."Kalau RSPO itu kan sifatnya voluntary, sedangkan ISPO mandatory. Kita akan sertifikasi semuanya," terangnya.

Sementara Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengungkapkan, sertifikasi sawit yang berlaku di Indonesia seperti ISPO tidak diakui di Eropa. "Dalam resolusi itu ada sertifikasi tunggal. Itu rasanya tidak bisa diterima, karena didasarkan atas asumsi sertifikasi yang dikembangkan negara-negara produsen sawit dianggap cacat," ujarnya.

Masalah lainnya, menurut Joko, resolusi parlemen Uni Eropa itu hanya berlaku untuk minyak sawit saja. Padahal ada banyak minyak nabati lain di Eropa, yang tentunya ikut berkontribusi pada deforestasi hutan."Ini sangat diskriminatif," ungkapnya.

Dia menduga, masalah sawit yang dibawa ke Parlemen Uni Eropa ini untuk menguatkan posisi tawar mereka dalam perundingan perdagangan bebas Indonesia-Uni Eropa dalam CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement).

"Mereka tidak mengakui sertifikasi kita, padahal lembaga yang mengaudit sertifikasi kita itu dari Eropa juga. Ini bukan soal lingkungan, tapi kepentingan dagang," pungkas Joko.


Rifanfinancindo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

16 Tahun Serangan “9/11”: WTC Runtuh Bukan karena Tabrakan Pesawat?

Sentimen Global Masih Ada, Rupiah Menguat di Hadapan Dolar AS

Contact Us