RI Tidak Curangi AS, Ini Penjelasan BI
Jakarta - Rifanfinancindo - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald
Trump, akan menyelidiki negara-negara mitra dagangnya yang menyebabkan
neraca perdagangan AS defisit, salah satunya Indonesia.
Bank Indonesia (BI) memastikan Amerika Serikat (AS) bukan lagi menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia dalam waktu beberapa tahun belakangan ini.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan 15 tahun lalu AS memang menjadi negara terbesar kedua tujuan ekspor Indonesia setelah Jepang.
"Tapi sekarang, AS nomor 3 jadi peranan AS mulai menurun, sekarang pasar ekspor kita besar ke China, ke negara ASEAN," kata Mirza, usai acara The Impact of Trumponomics On Indonesia, di Bank Indonesia Museum, Jakarta, Rabu malam (5/4/2017).
Indonesia masih mewaspadai dampak dari executive order yang telah diterbitkan Presiden AS, Donald Trump, pada akhir Maret 2017. Di mana, aturan tersebut akan melacak negara mitra dagang yang terbukti membuat neraca perdagangan negeri Paman Sam ini defisit.
Namun, Mirza memastikan, Indonesia bukan negara yang membuat neraca perdagangan AS defisit. Sebab, Indonesia sama sekali tidak sesuai dengan kriteria. Di mana, kriteria pertama adalah menyebabkan defisit AS sampai US$ 20 miliar, Indonesia hanya surplus US$ 13 miliar. Dengan catatan, produk yang diekspor merupakan produk yang tidak diproduksi di AS, seperti garmen dan tekstil.
Lalu, kedua negara tersebut neraca berjalannya (current account) surplus, khususnya ekspor impor barang dan jasanya surplus. Menurut Mirza, Indonesia ekspor impor barang dan jasa masih defisit, sehingga tidak masuk kriteria. Ketiga, terkait dengan intervensi valas, negara yang melakukan intervensi valas dalam rangka melemahkan mata uangnya kemudian membuat harga ekspor murah dan bisa masuk ke AS lebih murah, Indonesia tidak masuk kriteria itu, karena Indonesia kalau intervensi hanya untuk menstabilkan kurs.
Meski demikian, Mirza mengaku, pemerintah harus tetap memonitoring perkembangan dari executive order AS. Bisa saja, AS melihat faktor lain di luar dari kriteria tersebut.
"Jadi intinya bahwa perlu betul kita harus waspada, perlu pembicaraan negosiasi dengan pemerintah AS untuk meyakinkan bahwa Indonesia tidak termasuk negara yang dianggap mengambil melakukan currency unfair trade, itu harus bisa kita yakinkan," tambahnya.
Tidak hanya itu, Mirza mengimbau, pemerintah harus mencari negara-negara tujuan ekspor lainnya lantaran AS sudah mulai menurun peranannya.
"Untuk jangka panjang kita harus meningkatkan diversifikasi ekspor kita, kepada Eropa, negara Afrika, kepada negara berbagai Asia yang sekarang tumbuh, mungkin 20 tahun lalu kitta tidak bicara Myanmar, sekarang kita lihat Myanmar tumbuh, Vietnam dan Kamboja kita lihat tumbuh bagus, itukan bisa jadikan pasar ekspor kita," tukasnya.
Rifanfinancindo
Bank Indonesia (BI) memastikan Amerika Serikat (AS) bukan lagi menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia dalam waktu beberapa tahun belakangan ini.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan 15 tahun lalu AS memang menjadi negara terbesar kedua tujuan ekspor Indonesia setelah Jepang.
"Tapi sekarang, AS nomor 3 jadi peranan AS mulai menurun, sekarang pasar ekspor kita besar ke China, ke negara ASEAN," kata Mirza, usai acara The Impact of Trumponomics On Indonesia, di Bank Indonesia Museum, Jakarta, Rabu malam (5/4/2017).
Indonesia masih mewaspadai dampak dari executive order yang telah diterbitkan Presiden AS, Donald Trump, pada akhir Maret 2017. Di mana, aturan tersebut akan melacak negara mitra dagang yang terbukti membuat neraca perdagangan negeri Paman Sam ini defisit.
Namun, Mirza memastikan, Indonesia bukan negara yang membuat neraca perdagangan AS defisit. Sebab, Indonesia sama sekali tidak sesuai dengan kriteria. Di mana, kriteria pertama adalah menyebabkan defisit AS sampai US$ 20 miliar, Indonesia hanya surplus US$ 13 miliar. Dengan catatan, produk yang diekspor merupakan produk yang tidak diproduksi di AS, seperti garmen dan tekstil.
Lalu, kedua negara tersebut neraca berjalannya (current account) surplus, khususnya ekspor impor barang dan jasanya surplus. Menurut Mirza, Indonesia ekspor impor barang dan jasa masih defisit, sehingga tidak masuk kriteria. Ketiga, terkait dengan intervensi valas, negara yang melakukan intervensi valas dalam rangka melemahkan mata uangnya kemudian membuat harga ekspor murah dan bisa masuk ke AS lebih murah, Indonesia tidak masuk kriteria itu, karena Indonesia kalau intervensi hanya untuk menstabilkan kurs.
Meski demikian, Mirza mengaku, pemerintah harus tetap memonitoring perkembangan dari executive order AS. Bisa saja, AS melihat faktor lain di luar dari kriteria tersebut.
"Jadi intinya bahwa perlu betul kita harus waspada, perlu pembicaraan negosiasi dengan pemerintah AS untuk meyakinkan bahwa Indonesia tidak termasuk negara yang dianggap mengambil melakukan currency unfair trade, itu harus bisa kita yakinkan," tambahnya.
Tidak hanya itu, Mirza mengimbau, pemerintah harus mencari negara-negara tujuan ekspor lainnya lantaran AS sudah mulai menurun peranannya.
"Untuk jangka panjang kita harus meningkatkan diversifikasi ekspor kita, kepada Eropa, negara Afrika, kepada negara berbagai Asia yang sekarang tumbuh, mungkin 20 tahun lalu kitta tidak bicara Myanmar, sekarang kita lihat Myanmar tumbuh, Vietnam dan Kamboja kita lihat tumbuh bagus, itukan bisa jadikan pasar ekspor kita," tukasnya.
Rifanfinancindo
Komentar
Posting Komentar